Hari Pangan Sedunia

"Bersyukurlah karena masih bisa makan. Maka, habiskanlah makananmu. Jangan tersisa sebutir nasi pun." - Bagian Dapur KKN 154.

***

Imbauan di atas pernah saya tulis di dapur Pak Lurah Desa Plosorejo, tempat saya KKN 4 tahun silam. Saat menulis itu, saya sedang sebal pada teman-teman KKN yang kebetulan baru saya kenal. Mereka adalah teman-teman yang berasal dari kelas sosial atas. Anak pejabat teras, anak pegawai swasta yang sudah punya jabatan tinggi, bahkan anak seorang direktorat di salah satu kementerian di Jakarta. Saya mah, apa atuh, cuma anak dari bapak yang sangat keren. Haha..

Well, kebiasaan hidup kelas atas seringkali membuat mereka lupa untuk menghargai hal-hal kecil. Tidak menghabiskan makanan yang sudah capek-capek dimasak adalah salah satunya. Berangkat dari rasa syukur atas kelimpahan pangan dan bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, kemarin 16 Oktober, saya diingatkan kembali oleh seorang teman kos. Teman saya ini adalah seorang lulusan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Visi misi hidupnya sangat sederhana sekali dan masih berkaitan dengan studinya, pertanian. Mbak Naning, begitu saya memanggilnya, selalu menyontohkan pada kami tentang diversifikasi pangan. Tiap seminggu dalam sebulan sekali, Mbak Naning memilih mengganti karbohidrat nasi dengan bahan pengganti lain. Ada ubi jalar, labu kuning, singkong, ataupun kentang. Secara konsisten, dia memasak dengan berbagai menu dan resep yang menggiurkan. Buat saya yang suka hal praktis, itu adalah sebuah keribetan. Tapi demi membantu soal pangan di Indonesia, Mbak Naning kerap melakukannya.

Di lain hari, Mbak Naning juga mengajari kami untuk menggunakan cabe bubuk sebagai ganti cabe segar ketika ingin makan masakan pedas. Dalihnya, masyarakat Indonesia belum banyak yang paham soal pengolahan aneka sumber daya alam mereka. Cabe asal dijual sebagai cabe, bawang merah asal dijual sebagai bawang merah, tomat pun demikian. Sehingga ketika harga barang-barang tsb naik, kita cuma bisa mengeluh tanpa memikirkan untuk memakai alternatif tadi. Well, banyak pemikirannya tentang pangan yang saya setuju.

Di lain hal, ketika sampai saat ini kita merasakan kurang kalau belum makan nasi, adalah sebuah hal politis yang dijalankan di masa pemerintahan Soeharto. Yang saya ingat, Soeharto menyamaratakan kebutuhan seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke untuk sama-sama makan nasi. Padahal, seperti yang kita tau, masyarakat di daerah Timur terbiasa makan sagu diolah menjadi papeda.

Lalu, setelah era Soeharto turun, kebijakan diversifikasi pangan apakah masih dilakukan? Sependek pengamatan saya, instansi pemerintahan kembali menggalakkan program tsb. Namun masih sebatas program formal pemerintah. Belum menjadi kebiasaan baik yang dilakukan dalan keseharian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)