Jangan Terjebak Romantisisme Kota Jogja


7 Oktober 2015, 259 tahun sudah usia Kota Yogyakarta. Melihat hitungan angka, sudah tua sekali kota ini. Kalau dilekatkan pada manusia, usia 259 berarti sudah beberapa kali haul kematiannya diperingati. Itu untuk manusia, yang diprediksi hanya memiliki jatah usia dari 60 hingga 100 tahun. Syukur-syukur bisa melewati angka 60 tahun. Atau mau seperti puisinya Chairil Anwar, yang ingin hidup 1000 tahun lagi. Yah, tapi hidup, bukan soal kuantitas usia tapi seberapa banyak manfaat dalam diri yang bisa diberikan kepada manusia lain selama masih ada nafas.

Mungkin begitulah juga prinsip Kota Yogyakarta. Dengan slogan Kota Berhati Nyaman, Jogja berhasil membuat pendatang betah berlama-lama dan menjadikan Jogja sebagai kota kedua dalam sejarah hidup tiap orang yang pernah hidup di sini. Secara khusus, yang berulang tahun hari ini adalah Kotamadya Yogyakarta, bukan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, banyak orang yang salah mengira kalau yang ultah adalah provinsi.

Untuk memperingati hari lahir, hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang adalah melakukan refleksi diri. Melihat kembali apa yang telah dilakukan, memperbaiki kesalahan di masa lalu, dan menata harapan untuk berjallan ke depan. Saya yakin, Jogja pun demikian, tentu melalui program yang sudah dirancang oleh Pemerintah Kota Jogja. Semoga.

Sedari pagi, di berbagai media sosial, orang-orang membagikan foto-foto bertuliskan tema-tema romantis dan ucapan nan melankolis tentang kota ini. Saya malas ikut-ikutan. Cukuplah Tuhan yang tahu bagaimana rasa cinta saya pada Jogja.


Terkadang, kata-kata manis, romantis, melankolis membuat kita terjebak pada perasaan yang memudarkan logika. Beggitulah yang terjadi pada perayaan hari ini. Banyak orang lupa bahwa Kota Jogja tidak lagi berhati nyaman. Seperti slogan satire yang dimunculkan pada 2 atau 3 tahun lalu lewat sebuah pameran foto di Bentara Budaya Yogyakarta kalau Jogja Berhenti Nyaman. Ya, Jogja berhenti membuat saya tidak lagi nyaman.


Apa pasal?
Sebagai kota tujuan pendidikan, tentu banyak mahasiswa pendatang dari berbagai daerah, pemerintah kota Jogja dan sekitarnya juga pemerintah provinsi Jogja--untuk ini saya gak paham soal struktur birokrasi terkait status Jogja Istimewa--tidak mengantisipasi kedatangan mahasiwa yang tiap tahun semakin meningkat. kepadatan penduduk ditambah banyaknya mahasiswa membuat Jogja tambah sumpek. Apabila dalam benak calon pendatang terbayang adanya kota yang tenang, itu udah gak berlaku lagi. Jogja amat padat seperti simpul semrawut.

Soal transportasi. Siapa yang sekarang masih naik angkutan umum? Saya kok gak yakin ya orang-orang mau naik kendaraan umum di Jogja. Saya juga jarang melihat bus jalur 2, 4, atau 7 yang lewat di jalan raya. Angkutan umum, palingan bus TransJogja yang dari sisi internalnya saja punya banyak problem tak terselesaikan. Karena minimnya kendaraan umum, akhirnya untuk mencapai satu tempat ke tempat lain, kendaraan roda dua lah solusinya. Lalu, lihatlah di sepanjang jalan, terutama di pagi dan sore hari motor bak lebah yang keluar dari sarangnya. Wuss.. wuss.. wuss.. Tujuh tahun lalu, saya memilih Jogja sebagai tempat belajar karena saya tidak ingin merasakan macet seperti di Kota Tangerang. Tapi, seiring bertambahnya waktu, kemacetan akan pasti terjadi terutama di kota-kota yang banyak pendatangnya. Sudah jarang juga ditemui orang-orang yang menyengaja bersepeda onthel ke tempat-tempat umum. Barangkali itu hanya ada di FTV.

Oh ya, tahun 2012, saya pernah baca sebuah artikel yang berkata bahwa sebenarnya Kota Jogja adalah salah satu kota termiskin di Indonesia. Gak percaya? cobalah sesekali jalan-jalan, naik kaki lho, bukan naik motor, ke gang-gang kecil yang ada di Kota Jogja atau gampangnya, coba turun ke pemukiman pinggir Kali Code. Kalau saja Romo Mangun gak bikinin renovasi rumah buat mereka, mungkin nasib Kali Code bisa sama dengan Kali Ciliwung di Jakarta sono. Soall kemiskinan ini, saya gak punya banyak data sehingga gak berani banyak bicara. Cuma, simpelnya, kalau kita perhatikan, karena banyaknya pendatang dan langsung ditangkap sebagai peluang bisnis oleh segelintir orang bermodal. Parahnya, kebanyakan orang yang punya usaha di Jogja itu adalah orang luar sebagai investor. Sedang, warga lokalnya cuma kebagian pekerjaan non formal di sektor kuliner, laundri, foto kopi dan parahnya, cuma kebagian jadi tukang parkir. Maka, gak heran kalau sekali keluar naik motor di Jogja bisa ngerogoh kocek sebanyak 10 ribu cuma buat parkir aja. 
 

 Hal lainnya, soal pembangunan hotel dan mall di mana-mana. Ini karena penggede Provinsi Jogja gak punya sumber pemasukan lain yang masuk ke kas nya. Jadilah pembangunan hotel dan mall di mana-mana. Dalihnya sih karena tiap musim liburan Jogja selalu kekurangan jumlah kamar untuk menampung wisatawan. Padahal? Hmm..

Well, tiga hal itu yang sangat saya amati dari perkembangan Kota Jogja. Mari mencintai kota ini dengan cinta yang pake logika, logika untuk terus mengkritisi dan tidak terjebak pada romantisme. Bukankah kita sama-sama berada di jurusan KBM untuk mengasah logika dan mempertajam intuisi?  Romantis boleh, tapi jangan sampai bikin kita buta bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi kota ini. 

Sugeng tanggap warsa, Kota Yogyakarta, mugi tansah pinaringan kasembadan. Seperti kata Kla Project, izinkan aku untuk selalu pulang lagi.  





Komentar

  1. Resepsi Orang Luar Jogja terhadap Jogja, jadi satu tesis tersendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ide bagus, Mas Aji. Tapi kadang terlalu dekat dengan objek kajian memudarkan sisi kritis dan objektif. Hahaha..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)