Budaya: Muslim Keren Baru*




Pendahuluan
Pasca serangan teroris ke Amerika Serikat tahun 2001 dan juga merebaknya teror ISIS di beberapa bagian dunia, membuat wajah Islam semakin terlihat suram. Hal ini dirasakan oleh masyarakat keturunan Timur Tengah yang tumbuh di Eropa. Salah satunya Shelina Janmohamed. Sebagai warga keturunan, ia merefleksikan bagaimana kehidupan dan gaya hidup yang dipilihnya sebagai seorang Muslim agar tetap sejalan dengan tuntunan agama dan modernitas yang berkembang di Eropa.

Buku ini membahas tren konsumerisme global yang berfokus pada generasi Muslim sebagai salah satu penggerak ekonomi terkuat pada abad ke-21. Gaya hidup ini mengarah ke bidang musik, makanan halal, fashion, pariwisata, dan kesehatan. Gagasan mengenai merek berbasis Islam, yaitu membangun bisnis, produk, dan merek yang melibatkan konsumen Muslim, telah menarik perhatian besar dari pelaku usaha.

Menurut Pusat Riset Agama dan Kehidupan Sosial Pew, jumlah Muslim diperkirakan meningkat 73%, dari 1,6 miliar pada 2010 menjadi 2,8 miliar pada 2050. Sedangkan, dua pertiga populasi Muslim dunia pada tahun 2010, atau sekitar 63%, berusia di bawah 30 tahun. Gelombang generasi muda Muslim di seluruh dunia ini mulai bergerak, menunjukkan eksistensinya lewat perilaku dan sikap yang menciptakan tren-tren baru di pelbagai aspek dalam kehidupan global. Inilah yang dikupas Shelia Janmohamed, penulis sekaligus pengamat tren sosial dan religius Islam ternama, di buku ini.

Pada bagian ketiga buku ini mengangkat judul Budaya: Muslim Keren Baru yang mencakup empat sub bagian, yaitu Tuhan Memberi Rock and Roll (Halal) Untukmu; Haloodies dan Hijabliciouness; Perjuangan Demi Kecantikan; dan Duar! Bam! Terima kasih Islam.


Tuhan Memberi Rock and Roll (Halal) Untukmu
Pada sub bagian ini, penulis memberikan ilustrasi bagaimana sebuah stadion Wembley yang biasanya digunakan untuk pertandingan sepak bola menjadi ramai disesaki gadis muda belia yang tengah menonton konser musik Maher Zain, seorang penyanyi Swedia keturunan Lebanon. Maher Zain menyanyikan lagu-lagu yang meliputi tema ucapan terima kasih pada ibu, kehidupan yang baik untuk bekal menuju akhirat, dan cinta kasih pada sesama Meskipun lagu yang diangkat bertema religi, ia tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa Inggris. Memang, ada beberapa lagu yang liriknya ia ganti dnegan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menyesuaikan dengan pangsa pendengarnya. Tidak hanya di London, Maher Zain menyanyikan lagu tersebut ke negara-negara lain yang didominasi oleh masyarakat Muslim.

Selain Maher Zain, tersebut penyanyi lain, yaitu Sami Yusuf dan Humood Al Khudher. Berbeda dengan Maher Zain, kedua penyanyi ini menyanyikan lagu dengan bahasa Arab dan musiknya pun bernada gambus khas Timur Tengah. Kedua penyanyi ini berada di bawah satu label rekaman bernama Awakening Worldwide yang didirikan oleh Maher Zain.

Lagu dan musik yang dinyanyikan oleh ketiga penyanyi ini menjadi cara mereka untuk mengekspresikan cara penggabungan keimanan dan modernitas. Maher Zain dan penyanyi lainnya menegosiasikan antara keimanan dengan budaya populer. Sebagaimana dietahui, menurut budaya Islam konservatif bahwa musik adalah sesuatu yang diharamkan. Dalam konteks ini, Maher Zain melalui label musiknya, mengangkat musik sebagai media dakwah dengan lirik lagu yang membawa pesan perdamaian Dalam setiap penampilannya, ketiga penyanyi ini tidak mengenakan pakaian tradisional Muslim, melainkan berpakaian sesuai dengan mode pria dewasa terkini di Eropa. Ketiganya mengusung citra Muslim modern yang tidak terbelakang mengenai pakaian yang dikenakan.

Selain musik pop yang mudah diterima masyarakat, genre musik lain juga diangkat dengan membawa lirik-lirik yang Islami, antara lain menggabungkan lirik Islami dengan musik punk, rock, dan hip-hop. Tercatat beberapa nama penyanyi dengan aliran musik tersebut. Musik hip hop salah satu musik yang digemari kalangan muda di Eropa kemudian digubah dengan liriknya yang Islami oleh Deen Squad. Ia membandingkan dengan lirik lagu penyanyi hip hop Amerika, Jay Z, yang bercerita tentang seks dan cinta. Generasi M di Eropa banyak yang tidak bersepakat dengan pandangan tradisional yang menganggap musik itu haram.

Para musisi tersebut memiliki dorongan yang sama untuk menciptakan musik yang berakar pada ajaran Islam, berorientasi spiritual, dan terhubung dengan aktivisme sosial yang lebih luas yang membentuk identitas agama dan modernitas beserta pengalaman dan gaya hidup mereka.

Bagian yang menjadi kontroversi dalam perkembangan musik adalah seniman perempuan. Dalam budaya konservatif Islam, suara perempuan adalah aurat yang harus dijaga dan tidak boleh dipamerkan. Seiring berjalannya waktu dengan semakin terbukanya akses ruang publik pada perempuan, tumbuh pula penyanyi perempuan. Mereka pun bertarung karena harus melawan budaya tempat ekspresi seni dan musik yang secara kultural dianggap tidak pantas.

Generasi Muslim milenial mencoba menjembatani pengalaman agamais mereka dengan dunia modern melalui musik mereka. Ekspresi mereka tidak dilihat hanya sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan komunitas Muslim, tetapi juga sebagai cara untuk menjangkau pihak yang berbeda dan berbicara kepada dunia yang lebih luas (hlm. 130-131).

Haloodies dan Hijabliciouness: Bahasa Generasi M
Tantangan lain yang dirasakan oleh generasi M adalah persoalan bahasa. Banyak pertanyaan yang dimunculkan, seperti “Bahasa apa yang digunakan oleh kaum Muslim?” Mayoritas penganut agama Islam menggunakan berbagai bahasa, Indonesia, Mandarin, dan Urdu. Bahasa Arab menjadi salah satu faktor pemersatu umat. Beberapa kata berbahasa Arab, yang lazim diucapkan kaum Muslim, baik yang dapat berbahasa Arab, maupun tidak, yaitu ‘assalammu’alaikum’, ‘alhamdulillah’, ‘masya Allah’.      

Bahasa juga menjadi permasalahan bagi generasi M karena memunculkan stereotip bermakna peyoratif bagi mereka. Penggunaan kosakata ‘islamis’, ‘jihadis’, ‘syariah’, ‘hijabers’, seringkali dilekatkan pada gerakan ekstrimis yang anti-Barat dan mendukung kekerasan. Istilah ini dianggap semakin menciptakan dikotomi antara Barat versus Islamisme yang diciptakan oleh gerakan kanan, juga ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Padahal, jelas sekali bahwa gerakan dan pandangan mereke bertentangan dengan citra modern yang diusung oleh generasi M.

Bagi pelaku industri kreatif, bahasa Arab menjadi jalan pintas mereka untuk mendekatkan diri dengan audiens. Begitu banyak merek yang menggunakan kosakata Arab agar bisa menyentuh identitas islami target audiens mereka. Contohnya kosmetik Wardah di Indonesia yang menggunakan bahasa Arab yang berarti ‘bunga mawar’.

Menggunakan bahasa Arab sebagai alat kampanye, konsep, atau merek dengan tujuan menarik Muslim diterima secara luas dan tak ada perdebatan tentangnya. Namun, bagi generasi M, menjadi masalah adalah budaya lokal mereka yang tidak tercermin dalam wujud ekspresi sebagai Muslim.


Perjuangan Demi Kecantikan: Identitas Visual pada Era Stereotip         
Bagi masyarakat Barat, menjadi seorang perempuan Muslim digambarkan dengan kerudung berwarna gelap yang menandakan kesuraman dan wajah tertekan. Stereotip ini jelas membuat gusar perempuan Generasi M di Eropa. Mereka masih melihat perempuan berjilbab sebagai kelompok tertindas.
            
Untuk melawan stereotip tersebut, beberapa perusahaan fesyen mengeluarkan gaya berbusana untuk perempuan Muslim dengan pilihan warna yang cerah ceria daripada berwarna gelap. Mereka mencoba menggunakan hijab dengan warna cerah ceria daripada menggunakan burqa (cadar) dengan warna gelap yang menandakan kesuraman. Burqa sendiri dianggap sebagai tanda opresi oleh kalangan feminis Barat. 
           
Perempuan muda generasi M mencari pakaian atau fashion lainnya yang mewakili identitas Islam yang mencakup kebersihan, kerapian, dan kecakapan. karena penampilan luar yang mereka harapkan dapat membentuk karakteristik perempuan Muslim yang suka dengan keindahan dan kebersihan sesuai dengan hadits nabi. Mereka juga tetap mengikuti mode terbaru, menikmati tren fesyen, dan selalu berpatokan pada prinsip keimanan.
            
Peluang tersebut kemudian ditangkap oleh industri mode Eropa. Beberapa industri mode mainstream, antara lain Mango, Zara, DKNY, dan H & M mengeluarkan sederet busana koleksi menyambut Ramadhan dan Idul Fitri. Mereka mendesain pakaian dengan bahan yang lebih longgar, menyesuaikan dengan aturan syariat Islam.
            
Fashion Muslim mendorong pertumbuhan industri ini. Bagaimana kaum Muslim memenuhi kebutuhannya akan mode menjadi komoditas usaha tersendiri. Jumlah generasi M yang terus meningkat menjadi ceruk keuntungan baru dalam industri fashion yang tetap mengedepankan norma kesopanan. Shelina mengangkat ini sebagai sebuah bisnis kesopanan.
            
Fesyen Muslim sebagai penanda identitas keislaman mereka juga menjadi pradoks bagi sebagian kalangan Muslim. Mereka berusaha melepas stereotip terbelakang dan suram, menjadi ekspresi keimanan dengan busana syar’i dan di sisi lain mereka khawatir apakah fesyen semacam ini sudah sesuai dengan aspek kesopanan dan kerendahan hati sesuai dengan perilaku Islami. Terlebih, ada hadits yang menyatakan untuk tidak bertabarruj dalam berpakaian.
            
Generasi M berkontemplasi dengan pertanyaan-pertanyaan, ‘apakah fesyen Muslim ini mengarahkan mereka ke gaya hidup konsumerisme?’, ‘apakah pakaian yang mereka kenakan sudah tayib karena mengingat bagaimana buruh yang bekerja di industri tersebut telah bekerja keras?’
            
Industri fesyen tidak hanya meningkat di kalangan perempuan saja. Laki-laki pun menyesuaikan dengan tren  fesyen yang berkembang. Penggunaan parfum dan kosmetik menjadi hal yang diperdebatkan karena budaya tidak membolehkan perempuan menggunakan kedua hal tersebut.


Duar! Bam! Terima kasih, Islam!: Pahlawan Super, Penjahat, dan Konten Sadar Etika
Dalam konstruksi kepahlawanan yang populer di layar kaca, pahlawan selalu digambarkan secara fisik dengan laki-laki berkulit putih, mengenakan celana dalam di luar celana panjangnya. Pahlawan perempuan lainnya digambarkan dengan mereka yang berpakaian ketat untuk memudahkan geraknya seperti Wonder Women, Lara Croft, dan Ms. Marvel. Mengingat naiknya kalangan Muslim, Marvel Comic selaku pemain di industri komik dan desain grafis mengeluarkan tokoh bernama Kamala Khan yang menjadi pahlawan super Muslim pertama.

Kamala Khan menjadi wakil dari identitas yang didambakan oleh Generasi M, yaitu kolaborasi identitas modern, religiusitas, dan perjuangan untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Tokoh dan cerita Kamala Khan ditulis oleh G. Willow Wilson, seorang mualaf. Wilson mencoba mengeluarkan tokoh pahlawan Muslim dalam budaya populer agar sejajar dengan tokoh pahlawan lain yang sudah populer dalam dunia perkomikan. Pemunculan tokoh Kamala Khan menjadi peluang untuk mengeksplorasi hubungan antara Muslim dan kekuasaan. Terlebih pasca peristiwa penyerangan 11 September.

Tokoh pahlawan perempuan yang dikeluarkan oleh Marvel Comic menggambarkan perempuan dengan pakaian super ketat dan menggunakan jurus menggoda untuk menaklukkan musuhnya. Hal ini menjadi kritik bagi pengamat Muslim. Mereka menganggap hal tersebut sebagai eksploitasi seksual dalam kostum yang mereka kenakan.

Penciptaan komik yang dikonstruksikan dengan cerita misoginis yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi kalangan feminis disayangkan oleh Generasi M. Mereka menyambut baik kehadiran tokoh komik Muslim yang sesuai dengan nilai-nilai keseharian dalam perilaku Islam. Seperti The Muslim Show komik asal Prancis yang menggambarkan kehidupan sehari-hari dan praktik agama seorang Muslim. Kartun dan Muslim menjadi dua kosakata yang kontroversi di Eropa sejak peristiwa Charlie Hebdo.

Melihat bagaimana konstruksi film Holywood dalam merepresentasikan citra Muslim, generasi M berusaha meninggalkan Hollywood untuk berpindah ke Halalywood. Generasi M juga berusaha untuk mengangkat tema Islami yang baik dalam berbagai budaya populer, seperti video game, novel, majalah, dan buku bacaan anak-anak.


Muslim sebagai Identitas Keren Generasi M: Sebuah Kesimpulan
Dari berbagai hal yang dipaparkan dalam bagian ketiga buku ini, menceritakan bagaimana kalangan muda Muslim di lingkungan Shelina Janmohamed yang masih menggabungkan antara keimanan dengan modernitas. Sebagai pemeluk agama Islam, mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran keislaman dalam kehidupan sehari-hari dan tetap menerima modernitas sebagai gaya hidup. Hal ini berbeda dengan sebagian teman-teman mereka yang beragama Kristen atau Nasrani. Mereka memisahkan antara agama dengan kehidupan modern. Sebagian besar memilih modernitas dan meninggalkan agamanya sehingga menjadi seseorang yang sekuler.
            
Generasi M beranggapan bahwa ketaatan beragama dan modernitas sama menariknya dan tak selalu keduanya saling bertentangan. Gaya hidup dan budaya populer bukanlah hal yang untuk dipilih. Ada negosiasi untuk tetap menjalankan keduanya beriringan. Modernitas dan agama tidak akan saling menghancurkan satu sama lain. 
            
Gaya hidup yang diterapkan oleh Generasi M bertemu dengan kapitalisme sehingga memunculkan komoditas baru yang berbasis agama. Dengan embel-embel halal, syariah, atau islami, logika kapitalis memberikan tanggapan terhadap pasar yang sedang tumbuh bagi gaya hidup islami.  


           
Buku ini menarik untuk disandingkan dengan kajian mengenai kelas menengah baru, komodifikasi agama, dan kajian budaya populer. Sayangnya, di bagian halaman judul, buku ini berada di rak filsafat kehidupan, bukan di kajian budaya populer. Barangkali karena judulnya semacam buku pegangan hidup islami dan warnanya lebih mirip buku ekonomi pemasaran. (*)



*Resensi Buku Generation M 

Didiskusikan di Social Movement Institute (SMI) pada 23 Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)