Memaknai Puasa


Setelah berhari-hari berpuasa, aku memaknai puasaku sendiri. Adakah aku sudah menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari? Rasa-rasanya tidak sepenuhnya demikian. Usiaku sudah 27 tahun, sudah wajib puasa sejak 16 tahun lalu. Puasaku masih sama seperti pertama kali aku belajar puasa. Masih kerap membayangkan makanan-makanan yang enak.Jangan-jangan, seperti kata Gus Mus, puasaku hanya memindahkan jam makan dan minum pada saat terbenamnya matahari. 

Seharusnya puasaku beranjak dewasa. Tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus saja. 
Ada yang lebih penting dari itu. Bagaimana aku melatih pikiranku untuk tidak memikirkan hal-hal yang dilarang Allah. Bagaimana aku melatih pendengaranku, penglihatanku, pembicaraanku pada sesuatu yang baik yang menjadikanku manusia yang baik. Syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang lain.

Pada satu masa, puasaku bersanding dengan konsumerisme. Sebulan sebelum berpuasa, aku tidak menyiapkan diri dengan ilmu, padahal sebuah kegiatan atau sebuah laku selalu diawali dengan ilmu. Puasaku diawali dengan iklan-iklan sirup, iklan makanan, atau iklan obat maag yang seringkali menakutiku kalau puasa membuat perutmu melilit perih. Apa Tuhan sejahat itu pada ibadahku?

Puasaku belum mempersiapkan bagaimana seharusnya aku berbagi pada yang lain. Jauh hari sebelum puasa, undangan buka bersama yang melalaikan karena seringkali aku malas shalat tarawih akibat terlalu lama bersenda gurau dengan kawan-kawanku. Dengan dalih silaturahmi setahun sekali. Apa benar silaturahmi hanya ada pada bulan puasa.

Puasaku belum mempersiapkan bagaimana menjadi pribadi yang baru. Selama ini aku hanya sibuk menyiapkan baju baru model apa yang akan aku kenakan dalam kunjungan-kunjungan ke rumah sanak saudara. Bajuku apa sudah sesuai dengan tren kekinian seperti yang selebgram pakai?

Puasaku ya Allah, aku gagal melatih diriku sendiri menjadi manusia yang baik. Padahal tuntunanmu selalu kudengar. Maafkan aku, Tuhan..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)