Untuk Bu Misbah

Foto bareng sebelum ke resepsi pernikahan Mbak Anis tahun 2011

“Mbak, Bude Misbah meninggal.”

Begitu pesan singkat yang dikirimkan Uus, adik kos saya di kos Muti'ah dulu, pagi tadi.
Dalam sejarah perdomisilian saya di Jogja, Kos Muti'ah adalah rumah kos pertama saya dan termasuk salah dua yang saya diami dalam waktu lama, setelah kos Nikola.

Kos ini punya cerita yang baik, seperti almarhum Bu Misbah yang juga punya kenangan baik pada saya, pada kami, penghuni rumah beliau.

Kos kami adalah sebuah kos Muslimah. Di tahun 2008, kalau ada sebutan kos Muslimah, tentu yang tinggal di sana adalah perempuan-perempuan Muslim dan tentu saja berjilbab. Bisa dihitung dengan satu tangan, berapa jumlah anak kos Muti'ah yang tidak berjilbab kala itu. Beberapa bahkan ada yang memutuskan berjilbab setelah tinggal di sana. Begitulah, Jogja dan kos-kosan menjadi tempat belajar yang baik.

Sebagai induk semang, Bu Misbah menjaga amanah orang tua kami dengan sebaik-baiknya. Kos kami tidak membolehkan lelaki masuk, kecuali 2 orang: Pak Misbah dan tukang galon langganan yang sudah dikenal Bapak Ibu. Karena kos kami 3 lantai dengan tangga yang amat curam. Kemiringan 90 derajat barangkali sehingga tidak memungkinkan mengangkat galon sendiri, apalagi sampai lantai 3.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Hubungan saya, kami, dan bapak-ibu tidaklah sebatas tiap awal semester dimintai uang tahunan. Kala itu saya membayar kos sebesar 2,4 juta rupiah selama setahun dengan fasilitas kamar 3 x 3 lengkap dengan tempat tidur-kasur, meja-kursi belajar. Cukup terjangkau untuk ukuran tahun tersebut.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Saya teringat beberapa teman kampus, terutama laki-laki, agak berhati-hati ketika bertamu ke kos kami. Beberapa ada yang memberanikan diri bertamu dan duduk di beranda rumah, karena tiadanya ruang tamu. Kebanyakan teman perempuan bisa dengan mudah masuk kamar kami. Beberapa hanya mengirimkan pesan singkat untuk mengajak bertemu di teras Masjid Kampus UGM, 5 menit dari kos kami.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Orang tua kami, para penghuni Kos Muti'ah, hampir semua mengenal Bu Misbah dengan baik. Kami diterima dengan hangat dan baik tiap kali orang tua kami mengunjungi kami. Selayaknya orang tua, Bu Misbah juga memberikan perlindungan, teguran, dan perhatian. Dengan cara beliau.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Tepat di belakang rumah kos kami, ada sebuah masjid yang kerap mengadakan kajian rutin seminggu sekali. Bu Misbah selalu mendorong kami untuk mengikuti kajian yang diadakan di sana. Tidak hanya menghadiri pengajian, beberapa teman kos saya turut aktif menjadi aktivis masjid. Pada tiap bulannya pun, bapak dan ibu Misbah rutin mengadakan kajian yang dipimpin oleh bapak. Kebetulan, bapak-ibu adalah aktivis Majelis Tafsir AlQur'an. Sebulan sekali kami mengkaji ayat-ayat Qur'an, dipimpin oleh bapak. Atau kami semua bergantian saling membaca Qur’an ataupun sholat berjamaah di sebuah kamar yang lebih luas di antara kami.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Rumah kos Muti'ah bukanlah sebuah rumah mewah dengan fasilitas nyaman layaknya hotel bintang empat. Bukan kos eksklusif yang sekarang ramai disewakan di sekitaran kampus UGM-UNY. Kos Muti'ah hanyalah rumah sederhana di lingkungan Kuningan-Karang Malang dengan 3 lantai yang tiap pagi dan sore ramai dengan suara teman-teman berkeluh kesah soal kuliah, uang saku, organisasi kampus, sampai curhat-curhatan soal gebetan atau pacar.

Bu Misbah menjaga kami, sebaik-baiknya. Dari rumah sederhana tersebut kekeluargaan kami terjalin. Saling menguatkan ketika rindu datang. Saling mengingatkan kala lupa pada asalnya. Saling menasihati seperti kakak adik kandung.

Teruntuk Ibu Misbah, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
Selamat jalan, Ibu. Semoga Ibu khusnul khatimah.  Allah menyayangi Ibu.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)